MENGENAL IMAM
BUKHARI
Imam
Al-Bukhari adalah merupakan tokoh central dalam bidang periwayatan hadits yang
telah berjasa bagi ummat Islam khususnya melakukan klasifikasi mana hadits yang
shahih dan mana hadits yang dhaif. Perkerjaan yang dilakukan oleh Imam Bukhari
ini hampir tidak dapat lagi dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim, kecuali
hanya sekedar mengeritik apa yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari. Penulis
beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari adalah merupakan puncak
kajian yang dilakukan oleh sarjana muslim dan sangat tepat apabila Kitab
haditsnya ditempatkan satu tingkat di bawah Al-Qur’an.
Al-Bukhari
adalah seorang ahli hadits yang nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Menurut catatan
sejarah, Bardizbah adalah pemeluk Majusi, sementara al-Mughirah telah memeluk
Islam setelah mendapatkan bimbingan dari gurunya yang bernama al-Yaman al-Ja’fi
yang sekaligus seorang Gubernur di Bukhara. Karena jasa al-Yaman al-Ja’fi
terhadap al-Mughirah, maka di belakang nama al-Mughirah kemudian dilekatkan
nama al-Ja’fi sebagai akibat hubungan Wala’.
Al-Bukhari
lahir pada hari Jumat tanggal 13 Syawwal 194 H di Bukhara. Ayahnya, Ismail,
adalah seorang ulama hadits yang pernah belajar hadits dari sejumlah ulama
terkenal seperti Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan Ibnu Al-Mubarak. Namun
ayahnya tersebut meninggal dunia ketika Bukhari masih dalam usia sangat muda.
Diceritakan bahwa ayah al-Bukhari yang bernama Ismail, di samping sebagai
seorang yang berilmu tinggi, dia juga seorang yang Wara (menghindarkan diri
dari hal-hal yang bersifat syubhat atau tidak jelas mengenai halal dan
haramnya) dan Taqwa. Pada suatu saat sebelum ajal menjemputnya, dia pernah
mengatakan, dalam harta yang dimilikinya tiada sedikitpun yang berbau syubhat
apalagi haram.
Melihat latar
belakang keluarganya yang demikian wara dan taqwa maka sangat wajar apabila
Bukhari kecil mewarisi sifat-sifat terpuji dan memiliki kekuatan-kekuatan
istimewa yang tidak dimiliki anak-anak seusianya. Diceritakan di saat usianya
belum mencapai sepuluh tahun, Bukhari kecil telah memulai belajar hadits,
sehingga tidak mengherankan apabila pada usia kurang lebih 16 tahun telah
berhasil menghafal matan sekaligus rawi dari berbagai buah kitab karangan Ibnu
Mubarak dan Waqi’
.
Bakat dan Kecerdasan Al-Bukhari
Bakat dan Kecerdasan Al-Bukhari
Kecerdasan
al-Bukhari sebenarnya telah tampak semenjak dia masih kecil. Sebelum dia genap
berusia sepuluh tahun dia telah banyak menghafal hadits. Bakatnya dalam bidang
ilmu hadits semakin tampak setelah dia berumur sepuluh tahun. Muhammad Bin Abi
Hatim menyatakan bahwa dia pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa dia
memndapatkan ilham untuk mampu menghafal hadits. Ketika ditanya sejak usia
berapa dia memperoleh ilham tersebut, dijawab oleh Bukhari sekitar berumur
sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. Bukhari bukan hanya mempelajari dan
menghafal hadits-haditsnya saja, akan tetapi dia juga menghafal biografi
perawi-perawi hadits yang terlibat dalam periwayatannya, mulai dari tanggal dan
tempat lahir mereka, juga tanggal dan tempat mereka meninggal dunia, dan
sebagainya.
Ketajaman dan
kecerdasan otaknya juga tercermin dalam perkataannya, ‘saya hafal hadits di
luar kepala sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits lain
yang tidak shahih. Pernyataan ini cukup terkenal dan menjadi catatan para
penulis biografinya. Akan tetapi maksud sesungguhnya dari perkataannya tersebut
bukan dalam hal banyaknya jumlah hadits yang berbeda-beda, melainkan banyak
dalam arti sanad atau jalannya. Hal ini disebabkan kadang-kadang satu hadits
ditemukan sejumlah jalan atau sanad.
Selain
ucapannya itu al-Bukhari membuktikan dirinya sebagai orang yang cerdas dan
mempunyai daya ingat yang luar biasa. Kisah tersebut diawali ketika al-Bukhari
berkunjung ke Baghdad. Pada saat itu para ulama di sana sepakat menguji
kemampuannya. Mereka mengambil seratus buah hadits, kemudian sanad dan matannya
saling ditukar agar menjadi kacau. Ada sepuluh ulama yang siap menguji dengan
masing-masing memberikan pertanyaan sepuluh hadits yang telah dijungkirbalikkan
tersebut. Ujicobapun dilaksanakan dan mulailah ulama pertama dengan menanyakan
satu persatu hadits dengan sanad dan matannya yang dikacaukan sampai sepuluh
hadits selesai. Dalm hal ini al-Bukhari hanya memberikan jawaban, ‘Saya tidak
tahu hadits yang anda kemukakan ini’. Begitu seterusnya setiap ulama selesai
meemberikan pertanyaan, jawaban al-Bukhari tidak berubah, hingga seluruh ulama
selesai menyampaikan pertanyaan.
Tentu saja
kondisi ini menimbulkan spekulasi di antara para hadirin dan juga para ulama
yang menguji tersebut. Sebagian di antara mereka mengira bahwa al-Bukhari tidak
mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun sebagian di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa al-Bukhari yang dikenal sebagai orang cerdas
tersebut akan dengan mudah menjawabnya. Spekulasi pendapat tersebut tidak
berlangsung lama, karena setelah seluruh ulama menyampaikan
pertanyaannya,al-Bukhari dengan tenang dan cukup berwibawa menjawab satu
persatu dengan urut sesuai pertanyaan yang diajukan. Al-Bukhari menjelaskan
dengan gamblang mengenai posisi sanad dan matan yang benar secara berurutan.
Setelah selesai mengutarakan jawabannya, para ulama dan semua yang hadir merasa
kagum atas kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa.
Adapun yang
paling mengagumkan dalam masalah ini bukanlah karena al-Bukhari mampu
memberikan jawaban-jawaban yang mengagumkan, akan tetapi yang luar biasa itu
adalah bagaimana al-Bukhari mampu menghafal hadits-hadits yang telah
dijungkirbalikkan yang diajukan kepadanya itu, padahal baru kali itulah dia
mendengarnya, namun dia tetap dapat menyebutkannya persis seperti yang diajukan
kepadanya.
Guru dan Murid
al-Bukhari
Perjalanan
panjang al-Bukhari untuk memperkaya khazanah keilmuan hadits telah
mengantarkannya untuk berguru kepada sekian banyak orang. Sejarah mencatat
dalam pengembaraan keilmuannya, al-Bukhari telah berguru kepada 1.080 orang
guru telah dia temui dan memberikan riwayat hadits kepadanya. Dalam al-Jami’
al-Shahih saja telah terabadikan 289 orang guru sebagai perawi hadits. Di
antara para guru al-Bukhari yang terkenal adalah Ali Bin Al-Madini (w. 234
H/848 M), Ahmad Bin Hambal (164-241 H), Yahya Bin Ma’in (158-233 H) dan Ishaq
Bin Rawayh (w. 238 H.)
Sementara itu
murid-murid atau para ulama yang meriwayatkan hadits darinya secara hitungan
tidak dapat dipastikan jumlahnya. Menurut suatu riwayat yang diambil oleh Ibnu
Hajar Al-Asqalani bahwa kitab al-Jami’ al-Shahih saja telah didengar oleh tidak
kurang dari 90.000 orang. Namun beberapa nama dapat disebutkan di sini antara
lain adalah al-Tirmizi (2098-279 H), Muslim Bin al-Hajjaj (206-261 H), Yahya
Bin Muhammad Bin Sa’id al-Baghdadi, dan al-Nasa’i (215-303 H.).
Akhir
Kehidupan al-Bukhari
Setelah
mengalami hidup berpindah-pindah, penduduk Samarkand merasa terpanggil untuk
mengundang al-Bukhari untuk tinggal dan menetap di sana dengan damai. Simpati
masyarakat Samarkand tersebut ditolak secara halus oleh al-Bukhari, namun
setelah beberapa kali diyakinkan dengan kesungguhan hati dan prospek yang cukup
cerah bagi pengembangan ilmu, al-Bukhari akhirnya menyetujui permintaan mereka.
Rupanya keinginan untuk memenuhi undangan masyarakat Samarkand tersebut tidak
pernah kesampaian, sebab dalam perjalanannya menuju ke sana, al-Bukhari terkena
penyakit di desa Khartand, sebuah desa kecil di luar Samarkand, kurang lebih 2
farsakh. Di desa itu al-Bukhari dirawat dan diobati oleh beberapa famili yang
kebetulan ada dan menetap di desa itu. Upaya penyembuhan telah dilakukan secara
maksimal, namun Allah SWT ternyata
telah membuat keputusan. Karena itu tepat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31
Agustus 870 M), hari Sabtu , dalam usia 62 tahun kurang 13 hari, al-Bukhari
mengaakhiri hidupnya dan menghadap Sang Khaliq Allah SWT.
Al-Bukhari
dimakamkan selepas Shalat Dhuhur pada hari Idul Fitri itu juga dengan dikafani
3 helai kain, tanpa baju dalam dan tanpa surban, sesuai dengan pesannya sebelum
wafat. Semoga Allah SWT melimpahkan
rahmatnya kepada Imam Hadits yang sangat tersohor dan mempunyai andil yang luar
biasa besar terhadap pengklasifikasian hadits-hadits ini. Semoga Allah SWT menempatkannya di
tempat yang mulia di sisiNya. Amien Ya Robbal alamien.
Karya-Karya al-Bukhari
Sebagai
seorang ulama yang menghabiskan hidupnya untuk pengembangan dunia ilmu
pengetahuan khususnya di bidang hadits, al-Bukhari telah menulis sekian puluh
kitab yiatu : al-Jami’ al-Shahih; Adab al-Mufrad; al-Tarikh al-Shagir;
al-Tarikh al-Ausath; al-Tarikh al-Kabir; al-Tafsir al-Kabir; al-Musnad
al-Kabir; Kitab al-â’Ilal; Raf’ al-Yadayn Fi al-Sholat; Kitab Khalq
Af’al al-‘Ibad; al-Jami’ al-Kabir; Musnad al-Kabir; Kitab al-Hibban; Kitab
al-Wijdan; Kitab al-Mabsuth; Kitab al-Fawa’id; Birrul Walidain; Kitab
al-Asyribah; al-Qiraâ’ah Khalf al-Imam; Kitab al-Dhu’afa’; Asami
al-shohabah; Kitab al-Kuna; dan lain-lain. Namun demikian dari sekian
banyak-kitab-kitab karangannya itu yang paling terkenal adalah al-Jami’
al-Shahih yang nama lengkapnya adalah al-Jami’ al-Musnad al-Shahihal-Mukhtashar
min Umur Rasul Allah Saw wa Sunanihi wa Ayyamih.
Selain itu
juga disebutkan bahwa kitab ini adalah merupakan kitab yang paling shahih
setelah al-Qurâ’an. Memang diakui bahwa sebelumnya Imam Syafi’i
pernah menyatakan bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, namun ucapan itu sebelum adanya kitab al-Jami’
al-Shahih. Adapun kehebatan kitab ini adalah sebagai berikut :
1.
Persyaratan
al-Bukhari dalam menyeleksi hadits-haditsnya, yang dinilai paling ketat dan
memadai dibandingkan dengan yang lain, semisal dengan diharuskannya ada
pertemuan antara guru dan murid dan tidak hanya cukup dengan semasa saja.
2.
Usaha
ruhani yang dilakukan oleh al-Bukhari dalam rangka penyusunan al-Jami’
al-Shahih seperti selalu melakukan sholat istikharah, dan berwudhu’ serta
shalat sunnah dua rakaat sebelum meletakkan hadits ke dalam al-Jami’ al-Shahih
untuk memastikan bahwa hadits yang ditulisnya benar-benar datang dari Rasul.
3.
Bahwa
seluruh hadits yang terdapat di dalam al-Jami’ al-Shahih merupakan seleksi yang
ketat terhadap 600.000 hadits yang beredar pada saat itu, seperti pernyataan
al-Bukhari sendiri, ‘Saya telah menyeleksi hadits-hadits dalam al-Jamiâ’ al-Shahih
dari 600.000 hadits dan saya tidak memasukkan ke dalamnya kecuali hadits
shahih, tetapi saya juga tidak memasukkan hadits-hadits shahih lain ke
dalamnya.
4.
Di
samping materinya yang bernilai shahih, al-Jami’ al-Shahih juga merupakan
referensi yang diandalkan oleh ulama-ulama setelah al-Bukhari. Kandungan
materinya juga dinilai para ulama sebagai ushul al-ahkam, karena memuat
pernyataan-pernyataan hukum yang sangat dasar dan fundamental sifatnya.
Kriteria
Keshahihan Hadits Menurut Al-Bukhari
Al-Bukhari
dalam kitabnya tidak menginformasikan secara konkrit kriteria keshahihan sebuah
hadits, namun menurut penelitian para ulama, sebuah hadits menurut Imam Al-Bukhari
bila dalam persambungan sanad benar-benar ditandai dengan pertemuan langsung
antara guru dan murid atau minimalnya ditandai dengan guru dan murid hidup pada
satu masa. Hazami dan Maqdisi dua orang ulama kenamaan abad keenam hijriyah
menyatakan bahwa kriteria hadits shahih menurut Imam Al-Bukhari disimpulkan
bahwa ia hanya menuliskan hadits dari periwayatan kelompok periwayat tingkat
pertama dan sedikit dari tingkat kedua yaitu yang memiliki sifat adil, kuat
hafalan, teliti, jujur dan lama dalam berguru.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa kriteria hadits shahih menurut Imam al-Bukhariu
adalah : Dalam hal persambungan sanad ia menekankan adanya informasi positif
tentang periwayatan bahwa mereka benar-benar bertemu atau minimal satu zaman
dan dalam hal sifat atau tingkat keilmuan periwayat ia menekankan adanya
kriteria paling tinggi.
DAFTAR BACAAN
Al-Qatthan,
Manna’’ Khalil, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (ansyurat al-Asr al-Hadits,
1973).
Al-Sholih,
Subhi, Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, (Beirut : Dar al-ilm li
al-Malayin, 1973).
Ash-Shiddiqie,
T.M. Hasbi, Prof.
Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).
Departemen
Agama, Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Semarang : CV. Dharma Pala, 1997/1998).
Muhibbin Noor,
Dr. MA. H., Kritik
Keshahihan Hadis Imam Al-Bukhari Telaah Kritis Atas Kitab al-Jami’ Al-Shahih,
(Yogyakarta : Waqtu INSPEAL GROUP,
2003).
Suryadilaga,
M. Alfatih (editor), Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2003). Kata
Pengantar oleh Dr. M. Abdurrahman, MA.
Yuslem, Nawir,
Dr. MA., Ulumul Hadis,
(Jakarta : PT.
Mutiara Sumber Widya, 2003)