SUMBER SUMBER TAFSIR
oleh : Ahmad Muslim
Al-Qur’an diturunkan
Allah dalam bahasa arab yang sangat tinggi tingkat mutu sastranya.
Dalil-dalilnya sangat sulit unutk dibantah ia mnecakup berbagai masalah bahkan
sampai kepada persoalan yang sekecil-kecilnya dan mengandung berbagai rahasia.
Semua ini tidak mungkin ditangkap secara sama oleh semua orang. Maka muncullah
kebutuhan unutk menafsirkanya sebab kandungan ayat-ayatnya masih membutuhkan
penjelasan. Berangkat dari itu pada bagian ini akan dijelaskan sumber tafsir sebagai salah satu aspek dari beberapa spek
yang dibutuhkan dalam kegiatan menafsirkan al-Qur’an.
Sumber-sumber tafsir
itu adalah sebagai berikut :
a. Wahyu
Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang
dapat dijadikan acuan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Ia dapat
digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan.
Dengannya, hasil penafsiran itu walau tidak semuanya benar namun setidaknya
dapat mendekati kepada maksud asli ayat yang bersangkutan.
Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa sumber tafsir pada
masa rasulullah Saw. Adalah wahyu. Kata ini mempunyai dua arti, pertama berarti
al-Iha dan kedua al-Muhabih. Al-Iha menurut pengertian bahasa adalah emmberitahukan sesuatu dengan cara
yang samar dan cepat.
Sedangkan menurut pengertian istilah adalah pemberitahuan Tuhan
kepada Nabi Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita
dengan cara yang samar tapi meyakinkan
kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah
benar-benar dari Allah.
Sedangkan al-Muhabih
artinya yang diwahyukan, yakni al-Qur’an dan Hadits.
Nabi, tetapi daris
egi makna datang dari Tuhan. Oleh karena itu dilihat dari pengertianya wahju
juga mencakup hadits-hadits nabi. Hal tersebut telah ditegaskan Allah dalam
firman-NYA :” nabi tidak berkata menurut hawa nafsu nya, tetapi apa yang
dikatakannya tidak lain adalah wahyu yang diberikan”. Kemudian sabda nabi “
ingatlah, bahwa aku diberi Al-Qur’an dan semacam al-Quran bersamanya’.
Sekalipun hadits nabi dipandang sebagai wahyu, namun pada hakikatnya masih ada
perbedaan yang prinsipil antara hadits dan al-Qur’an, meskipun keduanya adalah
wahyu Ilahi.
Sehubungan dengan pembahasan tentang sumber tafsir, baik al-Quran
maupun hadits-hadits, kedunaya dapat dijadikan sumber-sumber tafsir. Hal ini
ditunjukkan dalam hadits dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan :” ketia ayat ini
diturunkan “ al ladzina amanu walam yalbitsu imanahum bizhulm” (orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman) QS.
6:82. Banyak orang-orang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah
SAW “ ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim kepada
irinya?” nabi menjawab “kezaliman disini bukan berarti yang kammu fahami.
Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hambba
Allah yang sholeh, “Inna al-syirka lazhulum ‘adzhim” ( sesungguhnya
kesyirikan adalah benar-benar kedzaliman yang besar) QS. 31:13. Jadi yang
dimaksud disisni adalah kemusrikann.”
Kemudian hadits dari
Jabi’ Ibn Abdullah yang menyatakan :
Seorang yahudi
datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata “ wahai Muhammad, beritakan kepadaku
tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya?”
maka N abi tidak menjawab sedikitpun hingga Jibril datang kepadanya, lalu ia
memberitahukan kepadanya , kemudian Nabi mengirim utusan kepada seorang yahudi
itu kemudian bertanya “ apakah engkau beriman jika aku memberitahukannya
kepadamu?” ia menjawab “ ya..”.
Hadits dari Jabi’
tersebut jelas berkaitan dengan firman Allah yang menyatakan :”... wahai
ayahnda, sesungguhnya aku melihat sebelas bintang , matahari dan bulam dalam
mimpi, mereka bersujud kepadaku.” (Qs. 12:4)
Hadits pertama menunjukkan bahwa Nabi SAW menafsirkan Q.S Al-An’am 6:82 dengan Q.S
Luqman 31:13, atau dengan kata lain Rasulullah SAW telah menafsirkan al-Quran
dengan al-Quran itu sendiri. Hadits kedua menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
menafsirkan Qs. Yusuf :4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya berkenaan
dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang yahudi itu ; artinya Rasulullah
SAW telah menafsirkan al-Quran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna datang
dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat difahami
adanya perbedaan antara al-Quran dengan wahyu.
b. Al-Ra’yu (logika)
Banyak hal dalam al-Qur’an yang tidak dapat dijalankan bila tidak
diperoleh penjelasanya, baik dari al-Quran maupun dari hadits. Dalam kaitan ini, apabila didapatkan suatu
hadits tafsir yang secara implisit tidak mengisyaratkan adanaya penjelasan dari
kedua hal tersebut, maka hal ini mengandung arti bahwa tafsir itu adalah hasil
ijtihad Nabi SAW. Hal ini silakukan Nabi , karena beliau ditugaskan dan diberi
otoritas unutk menjelaskan kandunga isi al-Qur’an.
Keadaan itu menunjukkan
bahwa penjelasan-penjelasan Nabi SAW tidak dapat dipisahkan dari pemahaman
maksud isi dari al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat
wewenang penuh untuk menjelasakannya. Penjelasan beliau dapat dipastikan
kebenaranya. Tidak seorangpun dapat menggantikan penjelasan Rasul , ataupun
kedudukanya. Dengan demikian maka penjelasan Nabi merupakan hasil
ijtihad dengan menggunakan Ra’yu-nya dapat juga dijadikan sumber tafsir.
Petunjuk adanya penggunaan Ra’yu dalam memahami al-Qur’an –antara lain- adalah
kasus ‘Adi ibn Hatim yang berkata: “manakala ayat itu turun – ‘ hatta
yatabayyana lakumal-khayth al-abyadh min al-khaith al aswat” ( hingga jelas
bagimu benang putih dari benang hitam) Qs. 2:187 . saya sengaja meletakkan
‘Iqol (semacam ikat kepala) hitam dan Iqol putih dibawah bantal. Pada malam
harinya saya lihat seruan tentang itu, dan ternyata aku tidak mendapat
kejelasan yang dimaksud. Pagi harinya aku menemui Rasulullah SAW. Dan
kuceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Rasulullah SAW menjawab :
Sebenarnya yang dimaksud dari hal tersebut adalah pekatnya malam dan terangnya
siang”.
Disamping itu ada juga riwayat-riwayat yang mengisyaratkan bahwa
para sahabat Nabi menafsirka al-Quran dengan kemampuan Ra’yu nya. Walaupun
demikian, tafsir dengan ra’yu yang dilakukan para sahabat tersebut telah
mendapatkan pembenaran dari Rasulullah SAW sendiri, baik melalui pengakuan
(taqrir) ataupun koreksi (tashih). Hal ini dapat dilihat antara lain riwayat
yang menyatakan bahwa ketika terjadi perang Zat al-Salasil,’Amr Ibn al-Ash
menafsirkan Qs. 4:29 Menjadi larangan membunuh diri sendiri dengan mandi junub
dalam keadaan cuaca yang amat dingin.
Penafsiran ini berangkat dari pemahaman ‘Amr mengenai hadats besar
yang menimpanya sehingga mengharuskannya untuk mandi junub agar dapat memimpin
sholat jamaah subuh. Saat udara sangat dingin-dalam keadaan hadats besar-ia
hanya bertayamum unutk melaksanakan shalat, sebab bila mandi khawatir akan
kematianya. Peristiwa ini disampaikan kepada rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah
membenarkan ijtihad tersebut.
Menurut Abd Muin
Salim bahwa potensipengetahuan yang dimiliki sahabat dalam menafsirkan al-Quran
dengan Ra’yunya adalah :
1.
Menggunakan fenomena sosial yang menjadi latar
belakang dan sebab turunya ayat.
2.
Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan.
3.
Pengertian kealaman.
4.
Kemampuan intelegensia.
Berkenaan dengan sumber-sumber yang telah diuraikan diatas, tidak
ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai kebolehannya untuk
dijadikan sebagai sumber tafsir. Perbrdaan pendapat muncul sehubungan dengan
apa yang dikutip dari Tabi’in. Akan tetapi kebanyakan ahli tafsir cenderung
menggunakanya didalam menafsirkan suatu ayat, karena mereka banyak mendapatkan
penafsiran ayat dari para sahabat.
Ibnu Taimiyah memberikan rincian komentar mengaenai qaul Tabi’in
dengan mengatakan bahwa Qoul Tabi’in tidak merupakan hujjah atas orang yang
berselisih pendapat degan mereka. Tidak diragukan bahwa kesepakatan mereka
dikategorikan sebagai hujjah. Akan tetapi jika mereka berselisih pendapat, maka
Qoul sebagian mereka tidak dapat dijadikan hujjah atas sebagian yang lain, dan
juga tidak atas orang-orang yang datang setelah mereka. Perselisihan tersebut
harus dikembalikan kepada bahasa al-Quran, atau assunah, atau qoul para
sahabat.
Pada masa kemudian, tafsir bi al-Ra’yu selalu menjadi maslah yang
aktual. Hal tersebut terjadi karena adnaya pelarangan terhadap tafsir bi
al-Ra’yi sendiri. Pelarangan itu tentusaja mewariskan rasa takut dan
menyebabkan penghalang untuk mengkaji isi kandungan al-Qur’an dan
masalah-masalah peradaban yang menjadi bukti kekalnya al-Qur’an.
Masih banyak kalangan yang berpegang pada jenis pelarangan ini,
kemudian menekankan pentingnya tafsir bi al-Matsur ( penafsiran dengan
al-Qur’an dan Hadits), dengan mengesampingkan peran akal dalam memandang dan
menganalisis. Hal ini juga yang melatar belakangi kejumudan berfikir dikalangan
umat islam. Hal ini dapat dibenarkan jika dikaitkan dengan masalah-masalah
‘Ubudiyah yang tidak mungkin adanya perubahan. Tetapi, tidak dapat dibenarkan jika
berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan lainya yang begitu dinamis dan
berkembang pesat, yang mengharuskan untuk berfikir dan mengkajinya sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an, untuk kemudian membangun teori yang relevan degan
dinamika yang ada. Itu semua berdasarkan pada kekalnya al-Qur’an , dan jawaban
terhadap masalah-masalah yang ada, yang merupakan konsekwensi logisnya.
c. Isro’iliyat
Oleh para sahabat, para ahli kitab dianggap memiliki pemahaman yang
lebih baik dan luas terhadap kitab-kitabnya (Taurat dan Injil). Maka tidaklah
mengherankan apabila keterangan –keterangan Ahli Kitab oleh sebagain sahabat
dijadikan sumber untuk menafsirkan al-Qur’an. Sumber ini dikenal dengan istilah
Isra’iliyat.
Merujuknya para sahabat kepada Ahli Kitab dilakukan kepada mereka
yang telah masuk islam, seperti ‘Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain
sebagainya., demi kesempurnaan kisah Nabi-Nabi dan bangsa-bangsanya sebelum
Muhammad. Mengenai hal ini, al-Syirbasi menyatakan bahwa sebagian ahli tafsir
suka berlama-lama menyebutkan kisah-kisah kenabian dan bangsa yang telah silam
bersumber kepada Ahli Kitab (isra’iliyat). Padahal pada saat yang sama,
al-Qur’an menyebutkan kisah itu secara ringkas dan global saja, karena al-Quran
menginginkan sebuah ibarat, pelajaran dan perhatian kepada sunatullah yang
berkenaan dengan kehidupan sosial manusia, dan ingin menggambarkan pengaruh
serta akibat perbuatan baik dan buruk dengan menampilkan kisah tersebut.
Dalam mengyikapi kitab Ahkam al-Qur’an karya Jashshash (w.307/981)
Julandari menyatakan bahwa dalam membahas makna ayat ia (Jashshash)
menyelidikinya dari bahasa terpakai, syair, al-Qur’an sendiri dan hadits yang
betul-betul shahih. Ia seorang pemikir yang menolak setiap pendapat yang
bertentangan dengan fikiran dan sejarah. Bahkan ada pendapat, apabila
orang-orang yang datang sesudahnya melanjutkan metodenya ini, sudah pasti bahwa
penggunaan israiliyat sudah lama hilang dalam kitab-kitab tafsir. Ahli tafsir
kontemporer, A’isyah ‘Abdurrahman menyatakan bahwa seluruh penafsiran yang bersumber
dari israiliyat yang dapat mengacaukan harus disingkirkan.
Dari pendapat-pendapat diatas tidaklah mengisyaratkan adanaya
larangan atau keharusan dalam menggunakan keterangan-keterangan israiliyat
sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
sunah atau Ro’yu. Ibn Abbas, misalnya meriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, tafsir
al-Raqim dalam Qs. Al-Kahfi (18) : 9 dan tafsir sidroh al-Muntaha dalam Qs.
Al-Najm (53):14 . demikian pula Abdurrahman Ibn Amr diriwayatkan menggunakan
naskah-naskah dari Ahli Kitab dalam perang yarmuk dan mengambil riwayat dari
naskah tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an.
Untuk hasrat ingin tahu penggunaan Israiliyat dimungkinkan
sebagaimana para sahabat pernah melakukanya. Pada sisi lain, tidak adanya
larangan tegas dari Rasulullah Saw. Bahkan dalam sebuah hadits dari Abdullah
Ibn Amr, Nabi Saw. Bersabda : ..wa hadditsu an bani israil wa la haraj “ (dan
berceritalah tentang bani israil, tidak ada dosa atas kamu..)
Dari contoh tafsir Ibn Abbas diatas
terlihat bahwa penggunaan isroiliyat bukan hanya sebatas ayat-ayat kisah umat
terdahulu, tetapi juga yang mencakup ayat-ayat yang berkenaan dengan soal-soal
ghoib. Gejala ini berkembang pada masa-masa selanjutnya karena ke dalam tafsir
itu diikutkan pula masalah-masalah yang tidak rasional dan alamiyah. Kenyataan
seperti ini dipandang sebagai suatu aib bagi tafsir sehingga timbul ide dan
usaha untuk membersihkan israiliyat dengan analisis kritis.
REFERENSI :
Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Teras, 2010