Rabu, 23 November 2016

PENGERTIAN TEKNIK ANALISIS TAFSIR QURAN

PENGERTIAN TEKNIK ANALISIS TAFSIR
oleh : Ahmad Muslim
Sebelum memebahas teknik analisis tafsir yang dapat diterapkan dalam penelitian tafsir (baca: menafsirkan al-Qur’an), terlebih dahulu kita akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan teknik analisis tafsir, dengan maksud menghindari  kesalah fahaman dalam memberikan batasan pengertian.
Istilah teknik, disamping istilah yang lain sering kali disinonimkan dengan istilah metode. Jadi, teknik sama dengan metode, begitu pula sebaliknya. Agar metode dapat bermanfaat haruslah digunakan dalam pelaksanaan yang konkret. Unutk itu metode sebagai cara kerja haruslah dijabarkan sesuai dengan alat beserta sifat alat yan gdimaksud. Sedangkan tahapan atqau urutan penggunaan metode disebut prosedur.
Analisis ialah cara pemeriksaan terhadap sesuatu dengan mengemukakan semua unsur dasar dan hubungan dengan unsur yang berkaitan. Dengan demikian, hal yang diperiksa dapat diketahui susunannya. Analisis ini merupakan cara yang umum dalam pemikiran manusia dan terutama sekali dalam ilmu pengetahuan. Lebih lanjut dapat dikatakan, analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagianyadan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sebagai contoh, analisis data merupakan penelaahan dan penguraian atas data hingga menghasilkan kesimpulan.
Sedangkan istilah tafsir, sebagaiman dikemukakn Abdul Mu’in Salim, berasal dari kata tafsir yang berbentuk masdar yang berarti menguraikan apa-apa yang dikandung al-Qur’an, baik berupa makna-makna, rahasia-rahasia, dan hukum-hukum. Jadi, tafsir disini dipandang sebagai kegiatan ilmiah (dalam arti sebagai metode) yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’an, bukan tafsir al-Qur’an sebagai produk dan bukan pula ilmu-ilmu al-Qur’an.

Bertitik tolak dari pengertian diatas, dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan teknik analisis tafsir adalah suatu cara memahami kandungan al-Qur’an dengan menelaah dan menguraikan ayat-ayat al-Qur’an hingga dapat diperoleh suatu pemahaman dan kesimpulan. 

REFERENSI :
Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010

Selasa, 22 November 2016

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR QUR'AN

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR
Melihat betapa urgennya dan sentralnya sebuah penafsi ran atas kitab suci maka penafsiran atasnya harus dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu dengan tetap berpegang pada  “kaidah-kaidah tafsir” atau pedoman-pedoman serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran al-Qur’an.
Namun sebelumnya alangkah baiknya kita ketahui apa itu kaidah-kaidah tafsir? Kaidah tafsir, dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Qawa’id al-tafsir  yang terdiri dari dua kata, qowaid dan al-tafsir. Kata qowa’id merupakan bentuk jamak dari kata qo’idatun, yang memiliki arti undang –undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinikan sebagai undang-undang , sumber, dasar, yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular.  Dalam al-Qur’an kata qowa’id dapat ditemukan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 127 dan al-Furqon (25) : 33.
Adapun kata at-tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, Adapun kata at-tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan atau menampakkan. Sedangkan menurut pembahasan para ulama terdapat beberapa perbedaan sebagaimana yang diungkapkan oleh az-Zarkayi dan al-Zarqoni. Pada dasarnya perbedaan tersebut terdapat pada perbedaan sudut pandang dimana az-Zarkasy  menitik beratkan tafsir sebagai ilmu alat, sedangkan az-Zarqoni lebih menekankan keberadaanya sebagai ilmu pengetahuan terhadap petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Demikian yang terjadi dikalangan mufassir (ahli-ahli tafsir), misalnya sebagaiman ungkapan Muhammad Abduh dan ‘Abd Al-Azhim Ma’ani dan Ahmad al-Gandur.
Dari pengertian yang diberikan tampak bahwa ada kesamaan dalam hal tujuan tafsir namun berbeda mengenai hakiatnya. Abd. Mu’in Salim memberikan solusi dengan mengkompromikannya dengan melihat tafsir  sebagai term yang menyangkut ketiga hal tersebut yaitu sebagai kegiatan ilumiah, sebagai alat dan sebagai hasil.
Berdasarkan penjelasan diatas , dapat dikatakan bahwa Qowa’idul Tafsir adalah pedoman-pedoman yang disusun ulama’ dengan kajian yang mendalam guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna al-Qur’an, hukum-hukum dan petunjuk yang terkandung didalamnya.
Ada beberapa kaidah-kaidah tafsir, sebagai berikut :
1.    Kaidah Qur’aniyah
Kaidah Qur’aniyah adalah penafsiran Al-Qur’an yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Hal ini didasarkan atas pernyataan al-Qur’an bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah, dan berdasarkan petunjuk al-Quran : “Tsumma inna ‘alaina bayanuhu “. Menurut Ibnu Katsir, model penafsiran inilah yang terbaik. Pendapat Ibnu Katsir ini bisa dinilai sebagai pendapat yang argumentatif, dimana antara stu ayat dengan ayat lainya saling berhubungan. Sehingga dapat berfungsi sebagai tafsir bi al-mat’sur.
2.    Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam al-Qur’an 16:44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai rosul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian maka Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna al-Qur’an. Beliau tidak menafsirkan menurut akal fikiran tetapi menurut wahyu Ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan penafsiran yang diturunkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Qur’an dan kemudian dikenal dengan Aa-Sunah.
3.    Kaidah Bahasa
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Tidak ada jalan lain bagi umat islam untuk memahaminya kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa arab.  (penjelasanya masih kurang)
4.    Kaidah Ushul Fiqih
Dalam penafsiran adakalanya menggunakan kaidah Ushul Fiqih untuk menemukan penafsiran yang tepat, adapun beberapa kaidah Ushul Fiqih adalah sebagai berikut:


a.    Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy :
Al-amr adalah adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada pihak  yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr.
Apabila Allah SWT  memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia melarang sesuatu berarti memerintahkanmelakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-NYA atau kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikitpun berarti menetapkan kesempurnaan. Contoh : Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang berbuat zholim.
b.    Kaidah Ushul Fiqih lainya dalah al-am dan khas, mujmal dan mubayyan, manthuq dan mafhum, muthlaq dan muqoyad, hakikat dan mazas, dan lain-lain.
5.    Kaidah Ilmu Pengetahuan
Disamping kaidah-kaidah diatas, seorang mufassir mesti memiliki ilmu pengetahuan lainya, seperti ilmu sosial, kedokteran dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan pada perinsip al-Qur’an untuk diturunkan sebagai Rahmatal lil Alamin. Dengan demikian maka al-qur’an akansenantiasa sesuai dengan zaman dan tempat.
Contoh : “Kolakol insana min ‘Alaq “ , ayat tersebut mengungkapkan penciptaan manusia. Para ulama berpendapat bahwa mengenai kejadian manusia dari kata ‘Alaq yaitu berarti darah beku atau segumpal darah yang merupakan kejadian janin pada hari pertama kejadiannya.
Hal tersebut dapat ditafsirkan dengan mempertimbangkan kaidah ilmu kedokteran.
REFERENSI :
Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010


Demikian ulasan singkat tentang Kaidah-Kaidah Tafsir, adapun penjelasan mendalamnya dibahas dalam artikel lainya. Semoga bermanfaat dan juga penuh berkah, amiiin.
Boleh LIKE atau SHARE, karna menanam satu kebaikan akan menuai 700 kebaikan bahkan lebih lho, mudah kan.

Selamat belajar...

Senin, 21 November 2016

PENDEKATAN KAJIAN TAFSIR QUR'AN

PENDEKATAN KAJIAN TAFSIR
oleh : Ahmad Muslim

Dalam rangka menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup  diperlukan pemahaman yang benar, sedang unutk memahami al-Quran dengan benar tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan penafsiran. Dan unutk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup hanya menguasai bahasa arab dengan baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang komprehensif tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ilmu tafsir disamping syarat-sayarat yang harus dipenuhi sebagai orang ingin memahami al-Qur’an dengan benar.
Disamping itu perlu penguasaan metode tafsir. Sebab tanpa menguasai metode tafsir, sulit dibayangkan suatu penafsiran terbebas dari kekeliruan.
Berangkat dari pemaparan diatas, berikut ini akan diuraikan beberapa pendekat dalam upaya mengkaji dan memahami al-Quran.
Yang dimaksud dengan metode pendekatan adalah pola fikir yang digunakan untuk membahas suatu masallah. Sedangkan pendekatan yang dipergunakan dapat dibedakan dari beberap cabang, sebagai berikut:
1.    Pendekatan objektif dan subjektif
a.    Pendekat Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada kepentingan ilmiah semata. Dalam pendekatan ini dibicarakan kaitan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan moderen yang timbul pada masa sekarang. Sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan penggalaian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunya al-Quran, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuan-penemuan lainya yang dapat dikembangkan  melalui ilmu kedokteran, astronomi, fisika, zologi, botani, geografi, dan lain sebagainya. Didalam al-Quran terdapat lebih dari delapan ratus ayat-ayat kauniyah. Sebagaian diantaranya bercerita tentang langit, bumni, udara, hewa, tumbuh-tumbuhan, perbintangan dan industri.
b.    Pendekatan Subjek
Pendekatan Swubjektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Pendekatan tersebut tergantung pada warna budaya dan akidah ahli tafisirnya ; apakah praktisi politik ataukah praktisi sebuah mazhab yang banyak mempengaruhinya. Seperti pendekatan yang dilakukan oleh sufi dimana al-Quran dikaji dengan sudut pandang yang sesuai dengan teori-teori tasawuf dan mengabaikan aspek-aspek lain.
2.    Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung
a.    Pendekatan Langsung
Pendekatan langsung adalah pendekatan yang menggunakan data primer. Data primer dalam kajian tafsir adalah al-Quran itu sendiri, hadits-dasits yang diriwayatkan Rasulullah Saw. Dan pendapat para sahabat.ada yang menambahkan pendapat tabi’in. Dengan demikian pendekatan dalam kajian tersebut adalah upaya unutk memahami al-Quran dengan pendekatan al-Quran itu sendiri, hadits, riwayat sahabat, serta pendapat tabi’in. Seperti ayat al-Quran yang mutlak ditafsirkan dengan ayat muqoyyad dan ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufashol.
b.    Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan ini adalah menggunakan data skunder, yaitu uapaya yang ditempuh setelah melalui pendekatan primer. Dengan kata lain ia merupakan pengembangan dari pendekatan pertama, seperti pendapat-pendapat para ulama, riwayat kenyataan sejarah dimasa turunya al-Quran, pengertian bahasa dan lafaz al-Quran, kaedah lafaz bahasa, kaedah-kaedah istinbat serta teori-teori ilmu pengetahuan. Oleh karena data yang dikemukakan terdapat data historis seperti hadits, riwayat sahabat, serta kenyataan sejarah dimasa turunya al-quran, maka sebelum digunakan perlu proses pemeriksaan dengan kritik sejarah.
3.    Pendekatan Komprehensif dan Sektoral
a.    Pendekatan Komprehensif
Pendekatan Komprehensif adalah pendekatan yang membahas objek penelitian tidak dari satu atau beberapa aspek tertentu saja, tetapi secara menyeluruh. Dalam hal ini, kandungan ayat al-Quran  berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran sebagai yang tercantum didalam mushaf. Segala segi yang dianggap perlu diuraikan bermula dari arti kosa kata, asbab an-nuzul, munasabah al-ayat, dan sebagainya yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
b.    Pendekatan Sektoral
Pendekatan Sektoral, adalah pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya terlepas dari objek lainya. Pendekatan ini berusaha mengkaji al-Quran secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Arti dan maksud ayat dijelaskan dengan uraian singkat yang dapar dijelaskan artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-quran, ayat-demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan dalam mushaf setelah dikemukakan arti-arti dalam kerangka uaraian yang mudah dengan bahsa dan cara yang dapt dipahami oleh orang yang berilmu dan awam.
4.    Pendekatan Disipliner, Multidisipliner dan Interdisipliner
a.    Pendekatan Disipliner
Pendekatan Disiplinermerupakan pendekatan yang menkaji objek dari swisi sebuah disiplin ilmu. Pendekatan Disipliner ini mengandung makna menggunakan konsep-konsep, asas-asas disiplin terkait untuk membahas masalah.
Berikut ini adalah macam-macam pendekatan disipliner :
1)    Pendekatan Syar’i
Pendekatan Syar’i berusaha mengkaji al-Quran dengan mengeluarkan hukum-hukum islam prosuk istinbat yang diyakini hukum-hukum syara’ tersebut terdapat didalam ayat-ayat dan surah-surah yang turun dimadinah dengan segala macamnya seperti shalat, zakat, puasa, haji, muamalah dan sebagainaya.
Dalam dimensi dejarah, hukum0hukum tersebut secara bertahab digali, hingga sampailah era perhatian terhadap produk-produk istinbat. Ketika mazhab-mazhab yang satu sama lain saling berbeda. Ketika mazhab-mazhab telah ada dikalangan umat islam terjadi banyak kasus hukum. Pada akhirnya hal itu diselesaikan berdasarkan al-Quran, as-Sunah, al-Qiyas, al-Istishan, maka keluarlah hukum-hukum islam produk istinbat yang diyakini benar. Hal yang demikian terlihat dalam corak penafsiran ayat-ayat yang berbeda-beda, karena pendekatan kajian yang digunakan juga berbeda.
2)    Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan Sosio-Historis menekankan pentingnya memehami kondisi-kondisi aktual ketika al-Quran diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan legaldan sosial-ekonominya. Atau dengan kata lain memehami al-Quran dalam konteks kesejahteraan dan harfiahnya, lalu memproyeksikannya kepada situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial kedalam naungan tujuan-tujuan al-Quran.
Aplikasi pendekatan kesejahteraan ini menekankan pentingnya perbedaan antara tujuan atau “ideal moral” al-Quran dengan ketentuan legal spesifiknya. Ideoal moral yang dituju al-Quran adalah emansipasi budak. Sementara penerimaan al-Quran terhadap pranata tersebut secara legal, dikarenakan kemustahilan untuk menghasupan seketika.
Metode pendekatan yang ditawarkan  terakhir ini meski tergolong baru namun semua unsurnya adalah tardisional., materi-materi kesejahteraan-latar belakang sosio-historis al-Quran, prilaku Nabi dan khususnya asbab an nuzul ayat-ayat al-Quran yang sangat urgen dalam penerapan metode tersebut semua telah dilestarikan oleh penulis sejarah hidup Nabi, pengumpul hadits, para sejarawan, serta para mufasir.
3)    Pendekatan Filosofis
Pendekatan Filosofis adalah upaya memahami al-Quran dengan cara mengabungkan antara filsafat dan agama atas dasar pentakwilan teks-teks agama kepada makna-makna yang sesuai dengan filsafat. Dalam pendekatan ini ada semacam usaha-usaha untuk memaksakan pra-konsepsi ke dalam al-Quran atau penyelarasan tradisi filsafat Yunani-Hellenis dengan al-Quran.
4)    Pendekatan Linguistik
Pendekatan linguistik atau riwayat dan bahasa ini adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan periwayatan dan kebahasaan. Dalam pendekatan ini, ditemukan pentingnya bahasa dalam memehami al-Quran, memaparkan ketelitian redaksi ayat, ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat penafsiranya dalam bingaki teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subjektifitas berlebihan. Pendekatan ini berupaya menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan memakai kalaimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada di dalam ayat tersebut tanpa memakai kaliamat dan huruf yang lain.
b.    Pendekatan Multidisipliner
Pendekatan ini berupaya membahas dan mengkaji objek dari beberapa disiplin ilmu, artinya ada upaya untuk menafsirkan ayat al-Quran atau semua objek dengan mengaitkan disiplin-disiplin ilmu yahn gberbeda.
c.    Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan Interdisipliner adalah suatu pendekatan yang membahas dan meneliti objek harus menggunakan beberapa disiplin ilmu.

REFERENSI :
Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010


Minggu, 20 November 2016

SUMBER SUMBER TAFSIR AL-QUR'AN

SUMBER SUMBER  TAFSIR
oleh : Ahmad Muslim
Al-Qur’an diturunkan Allah dalam bahasa arab yang sangat tinggi tingkat mutu sastranya. Dalil-dalilnya sangat sulit unutk dibantah ia mnecakup berbagai masalah bahkan sampai kepada persoalan yang sekecil-kecilnya dan mengandung berbagai rahasia. Semua ini tidak mungkin ditangkap secara sama oleh semua orang. Maka muncullah kebutuhan unutk menafsirkanya sebab kandungan ayat-ayatnya masih membutuhkan penjelasan. Berangkat dari itu pada bagian ini akan dijelaskan sumber tafsir  sebagai salah satu aspek dari beberapa spek yang dibutuhkan dalam kegiatan menafsirkan al-Qur’an.
Sumber-sumber tafsir itu adalah sebagai berikut :
a.    Wahyu
Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Ia dapat digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan. Dengannya, hasil penafsiran itu walau tidak semuanya benar namun setidaknya dapat mendekati kepada maksud asli ayat yang bersangkutan.
Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa sumber tafsir pada masa rasulullah Saw. Adalah wahyu. Kata ini mempunyai dua arti, pertama berarti al-Iha dan kedua al-Muhabih. Al-Iha menurut pengertian bahasa  adalah emmberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat.
Sedangkan menurut pengertian istilah adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan  cara yang samar tapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah.
Sedangkan al-Muhabih artinya yang diwahyukan, yakni al-Qur’an dan Hadits.
Nabi, tetapi daris egi makna datang dari Tuhan. Oleh karena itu dilihat dari pengertianya wahju juga mencakup hadits-hadits nabi. Hal tersebut telah ditegaskan Allah dalam firman-NYA :” nabi tidak berkata menurut hawa nafsu nya, tetapi apa yang dikatakannya tidak lain adalah wahyu yang diberikan”. Kemudian sabda nabi “ ingatlah, bahwa aku diberi Al-Qur’an dan semacam al-Quran bersamanya’. Sekalipun hadits nabi dipandang sebagai wahyu, namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang prinsipil antara hadits dan al-Qur’an, meskipun keduanya adalah wahyu Ilahi.
Sehubungan dengan pembahasan tentang sumber tafsir, baik al-Quran maupun hadits-hadits, kedunaya dapat dijadikan sumber-sumber tafsir. Hal ini ditunjukkan dalam hadits dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan :” ketia ayat ini diturunkan “ al ladzina amanu walam yalbitsu imanahum bizhulm” (orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman) QS. 6:82. Banyak orang-orang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW “ ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim kepada irinya?” nabi menjawab “kezaliman disini bukan berarti yang kammu fahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hambba Allah yang sholeh, “Inna al-syirka lazhulum ‘adzhim” ( sesungguhnya kesyirikan adalah benar-benar kedzaliman yang besar) QS. 31:13. Jadi yang dimaksud disisni adalah kemusrikann.”
Kemudian hadits dari Jabi’ Ibn Abdullah yang menyatakan :
Seorang yahudi datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata “ wahai Muhammad, beritakan kepadaku tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya?” maka N abi tidak menjawab sedikitpun hingga Jibril datang kepadanya, lalu ia memberitahukan kepadanya , kemudian Nabi mengirim utusan kepada seorang yahudi itu kemudian bertanya “ apakah engkau beriman jika aku memberitahukannya kepadamu?” ia menjawab “ ya..”.
Hadits dari Jabi’ tersebut jelas berkaitan dengan firman Allah yang menyatakan :”... wahai ayahnda, sesungguhnya aku melihat sebelas bintang , matahari dan bulam dalam mimpi, mereka bersujud kepadaku.” (Qs. 12:4)
Hadits pertama menunjukkan bahwa Nabi SAW  menafsirkan Q.S Al-An’am 6:82 dengan Q.S Luqman 31:13, atau dengan kata lain Rasulullah SAW telah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran itu sendiri. Hadits kedua menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menafsirkan Qs. Yusuf :4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang yahudi itu ; artinya Rasulullah SAW telah menafsirkan al-Quran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna datang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat difahami adanya perbedaan antara al-Quran dengan wahyu.
b.    Al-Ra’yu (logika)
Banyak hal dalam al-Qur’an yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh penjelasanya, baik dari al-Quran maupun dari hadits.  Dalam kaitan ini, apabila didapatkan suatu hadits tafsir yang secara implisit tidak mengisyaratkan adanaya penjelasan dari kedua hal tersebut, maka hal ini mengandung arti bahwa tafsir itu adalah hasil ijtihad Nabi SAW. Hal ini silakukan Nabi , karena beliau ditugaskan dan diberi otoritas unutk menjelaskan kandunga isi al-Qur’an.
 Keadaan itu menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan Nabi SAW tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud isi dari al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelasakannya. Penjelasan beliau dapat dipastikan kebenaranya. Tidak seorangpun dapat menggantikan penjelasan Rasul , ataupun kedudukanya.  Dengan  demikian maka penjelasan Nabi merupakan hasil ijtihad dengan menggunakan Ra’yu-nya dapat juga dijadikan sumber tafsir. Petunjuk adanya penggunaan Ra’yu dalam memahami al-Qur’an –antara lain- adalah kasus ‘Adi ibn Hatim yang berkata: “manakala ayat itu turun – ‘ hatta yatabayyana lakumal-khayth al-abyadh min al-khaith al aswat” ( hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam) Qs. 2:187 . saya sengaja meletakkan ‘Iqol (semacam ikat kepala) hitam dan Iqol putih dibawah bantal. Pada malam harinya saya lihat seruan tentang itu, dan ternyata aku tidak mendapat kejelasan yang dimaksud. Pagi harinya aku menemui Rasulullah SAW. Dan kuceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Rasulullah SAW menjawab : Sebenarnya yang dimaksud dari hal tersebut adalah pekatnya malam dan terangnya siang”.
Disamping itu ada juga riwayat-riwayat yang mengisyaratkan bahwa para sahabat Nabi menafsirka al-Quran dengan kemampuan Ra’yu nya. Walaupun demikian, tafsir dengan ra’yu yang dilakukan para sahabat tersebut telah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah SAW sendiri, baik melalui pengakuan (taqrir) ataupun koreksi (tashih). Hal ini dapat dilihat antara lain riwayat yang menyatakan bahwa ketika terjadi perang Zat al-Salasil,’Amr Ibn al-Ash menafsirkan Qs. 4:29 Menjadi larangan membunuh diri sendiri dengan mandi junub dalam keadaan cuaca yang amat dingin.
Penafsiran ini berangkat dari pemahaman ‘Amr mengenai hadats besar yang menimpanya sehingga mengharuskannya untuk mandi junub agar dapat memimpin sholat jamaah subuh. Saat udara sangat dingin-dalam keadaan hadats besar-ia hanya bertayamum unutk melaksanakan shalat, sebab bila mandi khawatir akan kematianya. Peristiwa ini disampaikan kepada rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah membenarkan ijtihad tersebut.
Menurut Abd Muin Salim bahwa potensipengetahuan yang dimiliki sahabat dalam menafsirkan al-Quran dengan Ra’yunya adalah :
1.    Menggunakan fenomena sosial yang menjadi latar belakang dan sebab turunya ayat.
2.    Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan.
3.    Pengertian kealaman.
4.    Kemampuan intelegensia.
Berkenaan dengan sumber-sumber yang telah diuraikan diatas, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai kebolehannya untuk dijadikan sebagai sumber tafsir. Perbrdaan pendapat muncul sehubungan dengan apa yang dikutip dari Tabi’in. Akan tetapi kebanyakan ahli tafsir cenderung menggunakanya didalam menafsirkan suatu ayat, karena mereka banyak mendapatkan penafsiran ayat dari para sahabat.
Ibnu Taimiyah memberikan rincian komentar mengaenai qaul Tabi’in dengan mengatakan bahwa Qoul Tabi’in tidak merupakan hujjah atas orang yang berselisih pendapat degan mereka. Tidak diragukan bahwa kesepakatan mereka dikategorikan sebagai hujjah. Akan tetapi jika mereka berselisih pendapat, maka Qoul sebagian mereka tidak dapat dijadikan hujjah atas sebagian yang lain, dan juga tidak atas orang-orang yang datang setelah mereka. Perselisihan tersebut harus dikembalikan kepada bahasa al-Quran, atau assunah, atau qoul para sahabat.
Pada masa kemudian, tafsir bi al-Ra’yu selalu menjadi maslah yang aktual. Hal tersebut terjadi karena adnaya pelarangan terhadap tafsir bi al-Ra’yi sendiri. Pelarangan itu tentusaja mewariskan rasa takut dan menyebabkan penghalang untuk mengkaji isi kandungan al-Qur’an dan masalah-masalah peradaban yang menjadi bukti kekalnya al-Qur’an.
Masih banyak kalangan yang berpegang pada jenis pelarangan ini, kemudian menekankan pentingnya tafsir bi al-Matsur ( penafsiran dengan al-Qur’an dan Hadits), dengan mengesampingkan peran akal dalam memandang dan menganalisis. Hal ini juga yang melatar belakangi kejumudan berfikir dikalangan umat islam. Hal ini dapat dibenarkan jika dikaitkan dengan masalah-masalah ‘Ubudiyah yang tidak mungkin adanya perubahan. Tetapi, tidak dapat dibenarkan jika berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan lainya yang begitu dinamis dan berkembang pesat, yang mengharuskan untuk berfikir dan mengkajinya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, untuk kemudian membangun teori yang relevan degan dinamika yang ada. Itu semua berdasarkan pada kekalnya al-Qur’an , dan jawaban terhadap masalah-masalah yang ada, yang merupakan konsekwensi logisnya.
c.    Isro’iliyat
Oleh para sahabat, para ahli kitab dianggap memiliki pemahaman yang lebih baik dan luas terhadap kitab-kitabnya (Taurat dan Injil). Maka tidaklah mengherankan apabila keterangan –keterangan Ahli Kitab oleh sebagain sahabat dijadikan sumber untuk menafsirkan al-Qur’an. Sumber ini dikenal dengan istilah Isra’iliyat.
Merujuknya para sahabat kepada Ahli Kitab dilakukan kepada mereka yang telah masuk islam, seperti ‘Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain sebagainya., demi kesempurnaan kisah Nabi-Nabi dan bangsa-bangsanya sebelum Muhammad. Mengenai hal ini, al-Syirbasi menyatakan bahwa sebagian ahli tafsir suka berlama-lama menyebutkan kisah-kisah kenabian dan bangsa yang telah silam bersumber kepada Ahli Kitab (isra’iliyat). Padahal pada saat yang sama, al-Qur’an menyebutkan kisah itu secara ringkas dan global saja, karena al-Quran menginginkan sebuah ibarat, pelajaran dan perhatian kepada sunatullah yang berkenaan dengan kehidupan sosial manusia, dan ingin menggambarkan pengaruh serta akibat perbuatan baik dan buruk dengan menampilkan kisah tersebut.
Dalam mengyikapi kitab Ahkam al-Qur’an karya Jashshash (w.307/981) Julandari menyatakan bahwa dalam membahas makna ayat ia (Jashshash) menyelidikinya dari bahasa terpakai, syair, al-Qur’an sendiri dan hadits yang betul-betul shahih. Ia seorang pemikir yang menolak setiap pendapat yang bertentangan dengan fikiran dan sejarah. Bahkan ada pendapat, apabila orang-orang yang datang sesudahnya melanjutkan metodenya ini, sudah pasti bahwa penggunaan israiliyat sudah lama hilang dalam kitab-kitab tafsir. Ahli tafsir kontemporer, A’isyah ‘Abdurrahman menyatakan bahwa seluruh penafsiran yang bersumber dari israiliyat yang dapat mengacaukan harus disingkirkan.
Dari pendapat-pendapat diatas tidaklah mengisyaratkan adanaya larangan atau keharusan dalam menggunakan keterangan-keterangan israiliyat sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunah atau Ro’yu. Ibn Abbas, misalnya meriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, tafsir al-Raqim dalam Qs. Al-Kahfi (18) : 9 dan tafsir sidroh al-Muntaha dalam Qs. Al-Najm (53):14 . demikian pula Abdurrahman Ibn Amr diriwayatkan menggunakan naskah-naskah dari Ahli Kitab dalam perang yarmuk dan mengambil riwayat dari naskah tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an.
Untuk hasrat ingin tahu penggunaan Israiliyat dimungkinkan sebagaimana para sahabat pernah melakukanya. Pada sisi lain, tidak adanya larangan tegas dari Rasulullah Saw. Bahkan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibn Amr, Nabi Saw. Bersabda : ..wa hadditsu an bani israil wa la haraj “ (dan berceritalah tentang bani israil, tidak ada dosa atas kamu..)
Dari contoh tafsir Ibn Abbas diatas terlihat bahwa penggunaan isroiliyat bukan hanya sebatas ayat-ayat kisah umat terdahulu, tetapi juga yang mencakup ayat-ayat yang berkenaan dengan soal-soal ghoib. Gejala ini berkembang pada masa-masa selanjutnya karena ke dalam tafsir itu diikutkan pula masalah-masalah yang tidak rasional dan alamiyah. Kenyataan seperti ini dipandang sebagai suatu aib bagi tafsir sehingga timbul ide dan usaha untuk membersihkan israiliyat dengan analisis kritis.

REFERENSI :

Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010



Sabtu, 19 November 2016

teknik analisis tafsir Al-Qur'an

TEKNIK ANALISI TAFSIR
Untuk dapat memperoleh pemahaman dan kesimpulan penafsiran al-Qur’an yang tepat haruslah mampu memahami kandungan al-Qur’an serta menelaah ayat ayatnya, hal ini membutuhkan teknik analisis tafsir yang sesuai.
Teknik analisis tafsir yang sering digunakan unutk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah :
a.    Analis Isi
Teknik analisis isi menurut B. Berelson, sebagaimana dikutip oleh Hasan Sadali, adalah suatu  teknik penyelidikan yang berusaha untuk menguraikan secara objektif, sistematis, dan kuantitatif ini yang termanifestasikan dalam suatu komunikasi. Sedangkan menurut krippendorff, teknik analisis isi adalah suatu teknik penelitian yang membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan data yang sahih dengan memperhatikan konteksnya. Sebagai suatu teknik penelitian, analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemprosesan data ilmiah. Secara intuitif , analisis ini dapat dikarakterisasikan sebagai metode penelitian makna simbolik pesan-pesan.
b.    Analisis filologis
Filologis, berasal dari kata yunani yang secara harfiah berarti “ kesukaan kata”, menunjuk arti pengkajian teks atau penelitian berdasarkan teks,berupa pembacaan, kemudian perbandingan antara berbagai teks, atau versi dari teks yang sama, berbagai jenis keritik teks atau perkembangan asal-usul teks. Dengan demikian al-Qur’an juga dapat diakji secara tekstual, artinya data-data tersebut dapat dianalisis dengan teks al-Qur’an atau dengan hadits nabi dan riwayat sahabat.
Jika ditarik akar sejarahnya, maka memahami al-Qur’an dengan cara ini dapat ditemukan pada masa Rasulullah saw. Sendiri.
c.    Analisis semantik
Semantik adalah suatu setudi dan analisis tentang makna-makna linguistik. Lebih konkretnya, semantik adalah tela’ah makna, atau ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, juga hubungan makna yang satu dengan yang lain.
Jadi semantik mencakup makna kata, serta perkembangan dan perubahanya. Makna adalah objek kajian utama semantik, sebab ia berada dalam satuan-satuan dari bahasa berupa kata, frase, klausa, kslimat, paragraf, dan wacana.  Ia juga dapat dianalaisis melalui setruktur dalam pemahaman tataran bahasa (finologi, morfologi, dan sintaksis) disamping dapat dianalisis melalui fungsi dalam pemahaman fungsi antar unsur.

REFERENSI :

Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010