MENGENAL IMAM MUSLIM
Sebagaimana
disebutkan di awal tulisan ini bahwa selain Imam Al-Bukhari sebagai tokoh
central yang sangat berjasa dalam hal pengkajian shahih tidaknya sebuah hadits,
terdapat juga tokoh central lainnya dalam bidang periwayatan hadits yang telah
berjasa bagi ummat Islam khususnya melakukan klasifikasi mana hadits yang
shahih dan mana hadits yang dhaif yaitu Imam Muslim. Imam Muslim ini adalah
murid kesayangan dari Imam Bukhari. Pekerjaan di bidang keilmuan hadits yang
dilakukan oleh Imam Muslim sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari, hampir
tidak dapat lagi dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim, kecuali hanya sekedar
mengeritik apa yang telah dilakukan oleh keduanya. Penulis beranggapan bahwa
apa yang dilakukan oleh Imam Muslim (sebagaimana halnya Imam Bukhari) adalah
merupakan puncak kajian yang dilakukan oleh sarjana muslim. Namun demikian
apabila dilihat dari segi tingkatan kualitasnya, maka kualitas hasil karya Imam
Muslim satu tingkat di bawah Imam Bukhari. Namun karya Imam Muslim lebih
sistematis dibandingkan dengan karya Imam Bukhari.
Sejarah Hidup Imam Muslim
Imam Muslim
nama lengkapnya adalah Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Beliau dinisbahkan kepada Naisaburi karena
dilahirkan di Naisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau
juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya atau kabilahnya yaitu Qusyair bin Ka’ab
bin Rabi’ah bin sa’sa’ah suatu keluarga bangsawan besar. Ia dilahirkan pada
tahun 204 H=820 M.
Imam Muslim
belajar hadits mulai usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H = 833 M.
Sejak itulah beliau sangat serius dalam mempelajari dan mencari hadits. Pada
masanya beliau terkenal sebagai ulama yang gemar bepergian melawat ke berbagai
daerah atau negara untuk mencari hadits. Beliau pernah pergi ke hijaz, Irak,
Syam, Mesir dan tempat-tempat lainnya. Beliau pernah ke Khurasan untuk belajar
hadits kepada Yahya Bin Yahya dan Ishaq bin Rahawaihi dan lain-lain; ke Roy
untuk belajar hadits kepada Muhammad bin Mahran, Abu Gasan dan lain-lain; ke
Irak untuk belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Maslamah dan
lain-lain; ke Hijaz untuk belajar hadits kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’ab;
dan pernah ke Mesir untuk belajar hadits kepada ‘Amar bin Sawad, Harmalah bin
Yahya dan kepada para ulama ahli hadits lainnya. Iapun pernah berkali-kali
mengunjungi kota Baghdad dan berguru kepada sejumlah ulama hadits senior.
Ketika Imam Bukhari datang ke kota inipun, ia aktif sekali mengunjungi
majelisnya dan menimba banyak-banyak hadits dari al-Bukhari serta mengikuti
jejaknya.
Guru dan Muridnya
Ada banyak
sekali para ulama hadits yang dijadikan Imam Muslim sebagai tempatnya menimba
ilmu pengetahuan khususnya di bidang hadits. Selain yang disebutkan di atas,
ada banyak ulama hadits lainnya yang menjadi gurunya yaitu Usman dan Abu Bakar
yang keduanya adalah putra Abu Syaibah, Syaibah bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri,
Zuhair bin Harb, ‘Amar bin al-Naqib, Harun bin Sa’id al-â’Ayli, Qutaibah
bin Sa’id, Qatadah bin Sa’id, al-Qa’nabi, Ismail bin Abi Uwais, Muhammad bin
al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Muhammad bin Rumhi dan lain sebagainya.
Para ulama
yang menjadi muridnyapun cukup banyak, bahkan di antaranya terdapat ulama-ulama
besar yang sederajat dengannya atau kawan seangkatannya. Para ulama besar yang
sederajat dengan beliau dan para hafiz yang banyak berguru kepadanya misalnya
Abu Hatim al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Yahya bin Sa’id, Abu
Bakar ibnu Khuzaimah, Abu ‘Awwanah al-Isfiraini, Abu Isa al-Tirmizi, Abu ‘Amar
Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishaq bin al-Siraj
dan lain-lainnya, jumlanya sangat banyak. Di antara sekian banyak muridnya yang
paling menonjol adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqh dan
zahid, yang merupakan periwayat utama dalam Shahih Muslim.
Kepribadiannya
Kepribadiannya
Imam Muslim
adalah salah seorang muhaddits, hafiz yang sangat terpercaya. Beliau banyak
menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama lainnya.
Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanad lengkap, dari Ahmad bin
Salamah, katanya : ‘Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim senantiasa
mengistimewakan dan mendahulukan Muslim bin al-Hajjaj di bidang pengetahuan
hadits shahih atas guru-guru mereka pada masanya.
Imam Muslim
adalah seorang saudagar yang beruntung, ramah dan memiliki reputasi tinggi.
Az-Zahabi menjulukinya sebagai Muhsin Naisabur. Beliau tidak fanatik dengan
pendapatnya sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerima
pendapat atau kebenaran dari orang lain.
Hasil Karya Imam Muslim
Hasil Karya Imam Muslim
Sebagai
seorang sarjana muslim, Imam Muslim telah banyak menghasilkan karya-karya
monumental dalam bidang keilmuan yang sangat bermanfaat dan berpengaruh bagi
ummat Islam, antara lain adalah Al-Jami’ al-Shahih; Al-Musnad al-Kabir ala
ar-Rijal; Al-Jami’ al-Kabir; al-Asma’u wa al-Kuna; Al-‘Ilal; Awham
al-Muhadditsin; At-Tamyin; Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid; Al-Tabaqat al-Tabi’in;
Al-Mukhadramin; Awlad al-Shohabah; Intifa’ bi Uhub (Julud) al-Siba’; Al-Aqran; Su’alatihi
Ahmad Bin Hambal; Al-Afrad wa Al-Wihdan; Masyaikh al-Sauri; Masyaikh Syu’bah;
Masyaikh Malik; Al-Tabaqat; Afrad al-Syamsiyin; Al-Wahdan; Al-Shahih al-Musnad;
Hadits Amr bin Syu’aib; Rijal Urwah; dan Al-Tarikh. Dari karya-karya tersebut
sebagian di antaranya ada yang telah dipublikasikan dan sebagian di antaranya
masih dalam bentuk manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan.
Dari sekian
banyak karya-karya keilmuan Imam Muslim tersebut, yang paling menonjol adalah
al-Jami’ al-Shahih (Shohih Muslim). Al-Jami’ al-Shahih ini menurut Hasbi
Ash-Shiddiqie adalah merupakan kitab kedua setelah al-Jami’ al-Shahih karya
Imam Bukhari yang menjadi pegangan dan pedoman. Namun demikian dari segi
susunan, Shohih Muslim lebih sistematis dibandingkan dengan Shahih Bukhari,
karena kita lebih mudah mencari hadits di dalamnya daripada mencari hadits di
dalam Shahih Bukhari. Muslim menempatkan hadits-hadits wudhu’ umpamanya di
bagian wudhu’, tidak bereserak-serak di sana sini seperti halnya Shahih
Bukhari.
Para ulama
hadits memberikan penilaian bahwa Shahih Muslim memiliki kelebihan dibandingkan
kitab hadits lainnya. Kelebihannya itu adalah sebagai berikut :
1.
Susunan
isinya sangat tertib dan sistematis;
2.
Pemilihan
redaksi (matan) haditsnya sangat teliti dan cermat;
3.
Seleksi
dan akumulasi sanadnya sangat teliti, tidak tertukar-tukar, tidak lebih dan
tidak kurang;
4.
Penempatan
dan pengelompokan pada hadits-hadits ke dalam tema atau tempat tertentu,
sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan penyebutan hadits.
Adapun nama
lengkap dari Shahih Muslim ini adalah Al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min
al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl â’an Rasul Allah. Kitab ini, berdasarkan
penomoran yang dilakukan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, memuat sejumlah
3.033 hadits. Penomoran tersebut tidak berdasarkan pada sistem sanad, namun
berdasarkan pada topik atau sabjek hadits. Sedangkan menurut An Nawawi, Shahih
Muslim memuat 400 hadits dengan tanpa menyebut yang berulang-ulang.
Hadits-hadits tersebut adalah merupakan penyaringan atas 300.000 hadits yang
berhasil dikumpulkan oleh Imam Muslim sekitar 15 tahun.
Akhir Kehidupan Imam Muslim
Akhirnya
setelah melakukan pengembaraan yang cukup panjang dalam bidang pengumpulan,
penelitian tentang hadits, Imam Muslim yang sangat kita hormati itu pada Ahad
sore, berpulang kerahmatullah dalam usia 55 tahun. Jenazahnya dimakamkan esok
harinya, Senin 25 Rajab 261 H = 875 M di kampung Nasr Abad, salah satu daerah
di luar Naisabur. Semoga arwahnya ditempatkan Allah SWT pada tempat yang mulia di
sisiNya dan semoga amal jariyah yang menjadi amal bhaktinya selama hidup dan
kehidupannya di dunia yang fana ini mendapat limpahan rahmat dan pahala dari
Allah SWT. Amien Ya Robbal ‘Alamin¦
Kriteria
Keshahihan Hadits Menurut Imam Muslim
Adapun
mengenai persyaratan sebuah hadits shahih, Imam Muslim sebagaimana Imam
Bukhari, tidak menyebutkannya secara eksplisit, namun para ulama menyimpulkan
dan merumuskan persyaratan yang dikehendaki oleh Imam Muslim berdasarkan metode
dan cara dia menerima serta menyeleksi hadits-hadits yang diterimanya dari
berbagai perawi dan selanjutnya memasukkannya ke dalam kitab shahihnya.
Persyaratan tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan syarat-syarat
keshahihan suatu hadits yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu sanadnya
bersambung, para perawinya bersifat adil dan dhabit (kuat hafalannya dan
terpelihara catatannya), serta selamat dari syaz dan ‘illat.
Dalam memahami
dan menerapkan persyaratan di atas, terdapat sedikit perbedaan antara Imam
Muslim dengan Imam Bukhari, yaitu dalam masalah Ittishalu al-Sanad
(persambungan sanad). Menurut Imam Muslim, persambungan sanad cukup dibuktikan
melalui hidup semasa (al-mu’asyarah) antara seorang guru dan muridnya, atau
antara seorang perawi dengan perawi yang menyampaikan riwayat kepadanya. Bukti
bahwa keduanya pernah saling bertemu (Al-Liqadh) sebagaimana yang disyaratkan
oleh Imam Bukhari, tidaklah dituntut oleh Imam Muslim, sebab menurut Imam
Muslim seorang perawi yang tsiqat tidak akan mengatakan bahwa dia meriwayatkan
sesuatu hadits dari seseorang kecuali dia telah mendengar langsung dari orang
tersebut, dan dia tidak akan meriwayatkan sesuatu dari orang yang didengarnya
itu kecuali apa yang telah dia dengar.
DAFTAR BACAAN
Al-Qatthan,
Manna’’ Khalil, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (ansyurat al-Asr al-Hadits,
1973).
Al-Sholih,
Subhi, Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, (Beirut : Dar al-ilm li
al-Malayin, 1973).
Ash-Shiddiqie,
T.M. Hasbi, Prof.
Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).
Departemen
Agama, Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Semarang : CV. Dharma Pala, 1997/1998).
Muhibbin Noor,
Dr. MA. H., Kritik
Keshahihan Hadis Imam Al-Bukhari Telaah Kritis Atas Kitab al-Jami’ Al-Shahih,
(Yogyakarta : Waqtu INSPEAL GROUP,
2003).
Suryadilaga,
M. Alfatih (editor), Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2003). Kata
Pengantar oleh Dr. M. Abdurrahman, MA.
Yuslem, Nawir,
Dr. MA., Ulumul Hadis,
(Jakarta : PT.
Mutiara Sumber Widya, 2003)