Minggu, 20 November 2016

SUMBER SUMBER TAFSIR AL-QUR'AN

SUMBER SUMBER  TAFSIR
oleh : Ahmad Muslim
Al-Qur’an diturunkan Allah dalam bahasa arab yang sangat tinggi tingkat mutu sastranya. Dalil-dalilnya sangat sulit unutk dibantah ia mnecakup berbagai masalah bahkan sampai kepada persoalan yang sekecil-kecilnya dan mengandung berbagai rahasia. Semua ini tidak mungkin ditangkap secara sama oleh semua orang. Maka muncullah kebutuhan unutk menafsirkanya sebab kandungan ayat-ayatnya masih membutuhkan penjelasan. Berangkat dari itu pada bagian ini akan dijelaskan sumber tafsir  sebagai salah satu aspek dari beberapa spek yang dibutuhkan dalam kegiatan menafsirkan al-Qur’an.
Sumber-sumber tafsir itu adalah sebagai berikut :
a.    Wahyu
Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Ia dapat digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan. Dengannya, hasil penafsiran itu walau tidak semuanya benar namun setidaknya dapat mendekati kepada maksud asli ayat yang bersangkutan.
Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa sumber tafsir pada masa rasulullah Saw. Adalah wahyu. Kata ini mempunyai dua arti, pertama berarti al-Iha dan kedua al-Muhabih. Al-Iha menurut pengertian bahasa  adalah emmberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat.
Sedangkan menurut pengertian istilah adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan  cara yang samar tapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah.
Sedangkan al-Muhabih artinya yang diwahyukan, yakni al-Qur’an dan Hadits.
Nabi, tetapi daris egi makna datang dari Tuhan. Oleh karena itu dilihat dari pengertianya wahju juga mencakup hadits-hadits nabi. Hal tersebut telah ditegaskan Allah dalam firman-NYA :” nabi tidak berkata menurut hawa nafsu nya, tetapi apa yang dikatakannya tidak lain adalah wahyu yang diberikan”. Kemudian sabda nabi “ ingatlah, bahwa aku diberi Al-Qur’an dan semacam al-Quran bersamanya’. Sekalipun hadits nabi dipandang sebagai wahyu, namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang prinsipil antara hadits dan al-Qur’an, meskipun keduanya adalah wahyu Ilahi.
Sehubungan dengan pembahasan tentang sumber tafsir, baik al-Quran maupun hadits-hadits, kedunaya dapat dijadikan sumber-sumber tafsir. Hal ini ditunjukkan dalam hadits dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan :” ketia ayat ini diturunkan “ al ladzina amanu walam yalbitsu imanahum bizhulm” (orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman) QS. 6:82. Banyak orang-orang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW “ ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim kepada irinya?” nabi menjawab “kezaliman disini bukan berarti yang kammu fahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hambba Allah yang sholeh, “Inna al-syirka lazhulum ‘adzhim” ( sesungguhnya kesyirikan adalah benar-benar kedzaliman yang besar) QS. 31:13. Jadi yang dimaksud disisni adalah kemusrikann.”
Kemudian hadits dari Jabi’ Ibn Abdullah yang menyatakan :
Seorang yahudi datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata “ wahai Muhammad, beritakan kepadaku tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya?” maka N abi tidak menjawab sedikitpun hingga Jibril datang kepadanya, lalu ia memberitahukan kepadanya , kemudian Nabi mengirim utusan kepada seorang yahudi itu kemudian bertanya “ apakah engkau beriman jika aku memberitahukannya kepadamu?” ia menjawab “ ya..”.
Hadits dari Jabi’ tersebut jelas berkaitan dengan firman Allah yang menyatakan :”... wahai ayahnda, sesungguhnya aku melihat sebelas bintang , matahari dan bulam dalam mimpi, mereka bersujud kepadaku.” (Qs. 12:4)
Hadits pertama menunjukkan bahwa Nabi SAW  menafsirkan Q.S Al-An’am 6:82 dengan Q.S Luqman 31:13, atau dengan kata lain Rasulullah SAW telah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran itu sendiri. Hadits kedua menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menafsirkan Qs. Yusuf :4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang yahudi itu ; artinya Rasulullah SAW telah menafsirkan al-Quran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna datang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat difahami adanya perbedaan antara al-Quran dengan wahyu.
b.    Al-Ra’yu (logika)
Banyak hal dalam al-Qur’an yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh penjelasanya, baik dari al-Quran maupun dari hadits.  Dalam kaitan ini, apabila didapatkan suatu hadits tafsir yang secara implisit tidak mengisyaratkan adanaya penjelasan dari kedua hal tersebut, maka hal ini mengandung arti bahwa tafsir itu adalah hasil ijtihad Nabi SAW. Hal ini silakukan Nabi , karena beliau ditugaskan dan diberi otoritas unutk menjelaskan kandunga isi al-Qur’an.
 Keadaan itu menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan Nabi SAW tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud isi dari al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelasakannya. Penjelasan beliau dapat dipastikan kebenaranya. Tidak seorangpun dapat menggantikan penjelasan Rasul , ataupun kedudukanya.  Dengan  demikian maka penjelasan Nabi merupakan hasil ijtihad dengan menggunakan Ra’yu-nya dapat juga dijadikan sumber tafsir. Petunjuk adanya penggunaan Ra’yu dalam memahami al-Qur’an –antara lain- adalah kasus ‘Adi ibn Hatim yang berkata: “manakala ayat itu turun – ‘ hatta yatabayyana lakumal-khayth al-abyadh min al-khaith al aswat” ( hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam) Qs. 2:187 . saya sengaja meletakkan ‘Iqol (semacam ikat kepala) hitam dan Iqol putih dibawah bantal. Pada malam harinya saya lihat seruan tentang itu, dan ternyata aku tidak mendapat kejelasan yang dimaksud. Pagi harinya aku menemui Rasulullah SAW. Dan kuceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Rasulullah SAW menjawab : Sebenarnya yang dimaksud dari hal tersebut adalah pekatnya malam dan terangnya siang”.
Disamping itu ada juga riwayat-riwayat yang mengisyaratkan bahwa para sahabat Nabi menafsirka al-Quran dengan kemampuan Ra’yu nya. Walaupun demikian, tafsir dengan ra’yu yang dilakukan para sahabat tersebut telah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah SAW sendiri, baik melalui pengakuan (taqrir) ataupun koreksi (tashih). Hal ini dapat dilihat antara lain riwayat yang menyatakan bahwa ketika terjadi perang Zat al-Salasil,’Amr Ibn al-Ash menafsirkan Qs. 4:29 Menjadi larangan membunuh diri sendiri dengan mandi junub dalam keadaan cuaca yang amat dingin.
Penafsiran ini berangkat dari pemahaman ‘Amr mengenai hadats besar yang menimpanya sehingga mengharuskannya untuk mandi junub agar dapat memimpin sholat jamaah subuh. Saat udara sangat dingin-dalam keadaan hadats besar-ia hanya bertayamum unutk melaksanakan shalat, sebab bila mandi khawatir akan kematianya. Peristiwa ini disampaikan kepada rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah membenarkan ijtihad tersebut.
Menurut Abd Muin Salim bahwa potensipengetahuan yang dimiliki sahabat dalam menafsirkan al-Quran dengan Ra’yunya adalah :
1.    Menggunakan fenomena sosial yang menjadi latar belakang dan sebab turunya ayat.
2.    Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan.
3.    Pengertian kealaman.
4.    Kemampuan intelegensia.
Berkenaan dengan sumber-sumber yang telah diuraikan diatas, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai kebolehannya untuk dijadikan sebagai sumber tafsir. Perbrdaan pendapat muncul sehubungan dengan apa yang dikutip dari Tabi’in. Akan tetapi kebanyakan ahli tafsir cenderung menggunakanya didalam menafsirkan suatu ayat, karena mereka banyak mendapatkan penafsiran ayat dari para sahabat.
Ibnu Taimiyah memberikan rincian komentar mengaenai qaul Tabi’in dengan mengatakan bahwa Qoul Tabi’in tidak merupakan hujjah atas orang yang berselisih pendapat degan mereka. Tidak diragukan bahwa kesepakatan mereka dikategorikan sebagai hujjah. Akan tetapi jika mereka berselisih pendapat, maka Qoul sebagian mereka tidak dapat dijadikan hujjah atas sebagian yang lain, dan juga tidak atas orang-orang yang datang setelah mereka. Perselisihan tersebut harus dikembalikan kepada bahasa al-Quran, atau assunah, atau qoul para sahabat.
Pada masa kemudian, tafsir bi al-Ra’yu selalu menjadi maslah yang aktual. Hal tersebut terjadi karena adnaya pelarangan terhadap tafsir bi al-Ra’yi sendiri. Pelarangan itu tentusaja mewariskan rasa takut dan menyebabkan penghalang untuk mengkaji isi kandungan al-Qur’an dan masalah-masalah peradaban yang menjadi bukti kekalnya al-Qur’an.
Masih banyak kalangan yang berpegang pada jenis pelarangan ini, kemudian menekankan pentingnya tafsir bi al-Matsur ( penafsiran dengan al-Qur’an dan Hadits), dengan mengesampingkan peran akal dalam memandang dan menganalisis. Hal ini juga yang melatar belakangi kejumudan berfikir dikalangan umat islam. Hal ini dapat dibenarkan jika dikaitkan dengan masalah-masalah ‘Ubudiyah yang tidak mungkin adanya perubahan. Tetapi, tidak dapat dibenarkan jika berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan lainya yang begitu dinamis dan berkembang pesat, yang mengharuskan untuk berfikir dan mengkajinya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, untuk kemudian membangun teori yang relevan degan dinamika yang ada. Itu semua berdasarkan pada kekalnya al-Qur’an , dan jawaban terhadap masalah-masalah yang ada, yang merupakan konsekwensi logisnya.
c.    Isro’iliyat
Oleh para sahabat, para ahli kitab dianggap memiliki pemahaman yang lebih baik dan luas terhadap kitab-kitabnya (Taurat dan Injil). Maka tidaklah mengherankan apabila keterangan –keterangan Ahli Kitab oleh sebagain sahabat dijadikan sumber untuk menafsirkan al-Qur’an. Sumber ini dikenal dengan istilah Isra’iliyat.
Merujuknya para sahabat kepada Ahli Kitab dilakukan kepada mereka yang telah masuk islam, seperti ‘Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain sebagainya., demi kesempurnaan kisah Nabi-Nabi dan bangsa-bangsanya sebelum Muhammad. Mengenai hal ini, al-Syirbasi menyatakan bahwa sebagian ahli tafsir suka berlama-lama menyebutkan kisah-kisah kenabian dan bangsa yang telah silam bersumber kepada Ahli Kitab (isra’iliyat). Padahal pada saat yang sama, al-Qur’an menyebutkan kisah itu secara ringkas dan global saja, karena al-Quran menginginkan sebuah ibarat, pelajaran dan perhatian kepada sunatullah yang berkenaan dengan kehidupan sosial manusia, dan ingin menggambarkan pengaruh serta akibat perbuatan baik dan buruk dengan menampilkan kisah tersebut.
Dalam mengyikapi kitab Ahkam al-Qur’an karya Jashshash (w.307/981) Julandari menyatakan bahwa dalam membahas makna ayat ia (Jashshash) menyelidikinya dari bahasa terpakai, syair, al-Qur’an sendiri dan hadits yang betul-betul shahih. Ia seorang pemikir yang menolak setiap pendapat yang bertentangan dengan fikiran dan sejarah. Bahkan ada pendapat, apabila orang-orang yang datang sesudahnya melanjutkan metodenya ini, sudah pasti bahwa penggunaan israiliyat sudah lama hilang dalam kitab-kitab tafsir. Ahli tafsir kontemporer, A’isyah ‘Abdurrahman menyatakan bahwa seluruh penafsiran yang bersumber dari israiliyat yang dapat mengacaukan harus disingkirkan.
Dari pendapat-pendapat diatas tidaklah mengisyaratkan adanaya larangan atau keharusan dalam menggunakan keterangan-keterangan israiliyat sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunah atau Ro’yu. Ibn Abbas, misalnya meriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, tafsir al-Raqim dalam Qs. Al-Kahfi (18) : 9 dan tafsir sidroh al-Muntaha dalam Qs. Al-Najm (53):14 . demikian pula Abdurrahman Ibn Amr diriwayatkan menggunakan naskah-naskah dari Ahli Kitab dalam perang yarmuk dan mengambil riwayat dari naskah tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an.
Untuk hasrat ingin tahu penggunaan Israiliyat dimungkinkan sebagaimana para sahabat pernah melakukanya. Pada sisi lain, tidak adanya larangan tegas dari Rasulullah Saw. Bahkan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibn Amr, Nabi Saw. Bersabda : ..wa hadditsu an bani israil wa la haraj “ (dan berceritalah tentang bani israil, tidak ada dosa atas kamu..)
Dari contoh tafsir Ibn Abbas diatas terlihat bahwa penggunaan isroiliyat bukan hanya sebatas ayat-ayat kisah umat terdahulu, tetapi juga yang mencakup ayat-ayat yang berkenaan dengan soal-soal ghoib. Gejala ini berkembang pada masa-masa selanjutnya karena ke dalam tafsir itu diikutkan pula masalah-masalah yang tidak rasional dan alamiyah. Kenyataan seperti ini dipandang sebagai suatu aib bagi tafsir sehingga timbul ide dan usaha untuk membersihkan israiliyat dengan analisis kritis.

REFERENSI :

Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar