KAIDAH-KAIDAH TAFSIR
Melihat betapa
urgennya dan sentralnya sebuah penafsi ran atas kitab suci maka penafsiran
atasnya harus dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu dengan
tetap berpegang pada “kaidah-kaidah
tafsir” atau pedoman-pedoman serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi
sebuah penafsiran. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam
penafsiran al-Qur’an.
Namun sebelumnya
alangkah baiknya kita ketahui apa itu kaidah-kaidah tafsir? Kaidah tafsir,
dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Qawa’id al-tafsir yang terdiri dari dua kata, qowaid dan
al-tafsir. Kata qowa’id merupakan bentuk jamak dari kata qo’idatun, yang memiliki
arti undang –undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinikan sebagai
undang-undang , sumber, dasar, yang digunakan secara umum yang mencakup semua
yang partikular. Dalam al-Qur’an kata qowa’id
dapat ditemukan dalam Q.S al-Baqarah (2) :
127 dan al-Furqon (25) : 33.
Adapun kata at-tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara,
Adapun kata at-tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara,
yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan atau menampakkan. Sedangkan
menurut pembahasan para ulama terdapat beberapa perbedaan sebagaimana yang
diungkapkan oleh az-Zarkayi dan al-Zarqoni. Pada dasarnya perbedaan tersebut
terdapat pada perbedaan sudut pandang dimana az-Zarkasy menitik beratkan tafsir sebagai ilmu alat,
sedangkan az-Zarqoni lebih menekankan keberadaanya sebagai ilmu pengetahuan
terhadap petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Demikian yang terjadi dikalangan mufassir
(ahli-ahli tafsir), misalnya sebagaiman ungkapan Muhammad Abduh dan ‘Abd
Al-Azhim Ma’ani dan Ahmad al-Gandur.
Dari pengertian yang diberikan tampak bahwa ada kesamaan dalam hal
tujuan tafsir namun berbeda mengenai hakiatnya. Abd. Mu’in Salim memberikan
solusi dengan mengkompromikannya dengan melihat tafsir sebagai term yang menyangkut ketiga hal
tersebut yaitu sebagai kegiatan ilumiah, sebagai alat dan sebagai hasil.
Berdasarkan penjelasan diatas , dapat dikatakan bahwa Qowa’idul
Tafsir adalah pedoman-pedoman yang disusun ulama’ dengan kajian yang
mendalam guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna
al-Qur’an, hukum-hukum dan petunjuk yang terkandung didalamnya.
Ada beberapa kaidah-kaidah tafsir, sebagai berikut :
1. Kaidah Qur’aniyah
Kaidah Qur’aniyah adalah penafsiran
Al-Qur’an yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Hal ini didasarkan atas
pernyataan al-Qur’an bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Qur’an secara
tepat hanyalah Allah, dan berdasarkan petunjuk al-Quran : “Tsumma inna
‘alaina bayanuhu “. Menurut Ibnu Katsir, model penafsiran inilah yang
terbaik. Pendapat Ibnu Katsir ini bisa dinilai sebagai pendapat yang
argumentatif, dimana antara stu ayat dengan ayat lainya saling berhubungan.
Sehingga dapat berfungsi sebagai tafsir bi al-mat’sur.
2. Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam
al-Qur’an 16:44 dan 64, Nabi Muhammad
sebagai rosul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan.
Dengan demikian maka Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna
al-Qur’an. Beliau tidak menafsirkan menurut akal fikiran tetapi menurut wahyu
Ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua
sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan
penafsiran yang diturunkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat
al-Qur’an dan kemudian dikenal dengan Aa-Sunah.
3. Kaidah Bahasa
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab.
Tidak ada jalan lain bagi umat islam untuk memahaminya kecuali diperlukan
adanya penguasaan terhadap bahasa arab. (penjelasanya masih kurang)
4. Kaidah Ushul Fiqih
Dalam penafsiran adakalanya menggunakan
kaidah Ushul Fiqih untuk menemukan penafsiran yang tepat, adapun beberapa
kaidah Ushul Fiqih adalah sebagai berikut:
a. Kaidah yang
berkaitan dengan al-amr wa al-nahy :
Al-amr adalah adalah
tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi
derajatnya kepada pihak yang lebih
rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr.
Apabila Allah
SWT memerintahkan sesuatu berarti
melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia melarang sesuatu berarti
memerintahkanmelakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-NYA atau
kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikitpun berarti menetapkan
kesempurnaan. Contoh : Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang
berbuat zholim.
b. Kaidah Ushul
Fiqih lainya dalah al-am dan khas, mujmal dan mubayyan,
manthuq dan mafhum, muthlaq dan muqoyad, hakikat dan mazas,
dan lain-lain.
5. Kaidah Ilmu Pengetahuan
Disamping kaidah-kaidah diatas, seorang
mufassir mesti memiliki ilmu pengetahuan lainya, seperti ilmu sosial,
kedokteran dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan pada perinsip al-Qur’an
untuk diturunkan sebagai Rahmatal lil Alamin. Dengan demikian maka al-qur’an
akansenantiasa sesuai dengan zaman dan tempat.
Contoh : “Kolakol insana min ‘Alaq “ , ayat
tersebut mengungkapkan penciptaan manusia. Para ulama berpendapat bahwa
mengenai kejadian manusia dari kata ‘Alaq yaitu berarti darah beku atau
segumpal darah yang merupakan kejadian janin pada hari pertama kejadiannya.
Hal tersebut dapat ditafsirkan dengan mempertimbangkan kaidah ilmu
kedokteran.
REFERENSI :
Salim
Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010
Demikian ulasan singkat tentang
Kaidah-Kaidah Tafsir, adapun penjelasan mendalamnya dibahas dalam artikel
lainya. Semoga bermanfaat dan juga penuh berkah, amiiin.
Boleh LIKE atau SHARE, karna menanam satu
kebaikan akan menuai 700 kebaikan bahkan lebih lho, mudah kan.
Selamat belajar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar