Selasa, 22 November 2016

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR QUR'AN

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR
Melihat betapa urgennya dan sentralnya sebuah penafsi ran atas kitab suci maka penafsiran atasnya harus dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu dengan tetap berpegang pada  “kaidah-kaidah tafsir” atau pedoman-pedoman serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran al-Qur’an.
Namun sebelumnya alangkah baiknya kita ketahui apa itu kaidah-kaidah tafsir? Kaidah tafsir, dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Qawa’id al-tafsir  yang terdiri dari dua kata, qowaid dan al-tafsir. Kata qowa’id merupakan bentuk jamak dari kata qo’idatun, yang memiliki arti undang –undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinikan sebagai undang-undang , sumber, dasar, yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular.  Dalam al-Qur’an kata qowa’id dapat ditemukan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 127 dan al-Furqon (25) : 33.
Adapun kata at-tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, Adapun kata at-tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan atau menampakkan. Sedangkan menurut pembahasan para ulama terdapat beberapa perbedaan sebagaimana yang diungkapkan oleh az-Zarkayi dan al-Zarqoni. Pada dasarnya perbedaan tersebut terdapat pada perbedaan sudut pandang dimana az-Zarkasy  menitik beratkan tafsir sebagai ilmu alat, sedangkan az-Zarqoni lebih menekankan keberadaanya sebagai ilmu pengetahuan terhadap petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Demikian yang terjadi dikalangan mufassir (ahli-ahli tafsir), misalnya sebagaiman ungkapan Muhammad Abduh dan ‘Abd Al-Azhim Ma’ani dan Ahmad al-Gandur.
Dari pengertian yang diberikan tampak bahwa ada kesamaan dalam hal tujuan tafsir namun berbeda mengenai hakiatnya. Abd. Mu’in Salim memberikan solusi dengan mengkompromikannya dengan melihat tafsir  sebagai term yang menyangkut ketiga hal tersebut yaitu sebagai kegiatan ilumiah, sebagai alat dan sebagai hasil.
Berdasarkan penjelasan diatas , dapat dikatakan bahwa Qowa’idul Tafsir adalah pedoman-pedoman yang disusun ulama’ dengan kajian yang mendalam guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna al-Qur’an, hukum-hukum dan petunjuk yang terkandung didalamnya.
Ada beberapa kaidah-kaidah tafsir, sebagai berikut :
1.    Kaidah Qur’aniyah
Kaidah Qur’aniyah adalah penafsiran Al-Qur’an yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Hal ini didasarkan atas pernyataan al-Qur’an bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah, dan berdasarkan petunjuk al-Quran : “Tsumma inna ‘alaina bayanuhu “. Menurut Ibnu Katsir, model penafsiran inilah yang terbaik. Pendapat Ibnu Katsir ini bisa dinilai sebagai pendapat yang argumentatif, dimana antara stu ayat dengan ayat lainya saling berhubungan. Sehingga dapat berfungsi sebagai tafsir bi al-mat’sur.
2.    Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam al-Qur’an 16:44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai rosul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian maka Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna al-Qur’an. Beliau tidak menafsirkan menurut akal fikiran tetapi menurut wahyu Ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan penafsiran yang diturunkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Qur’an dan kemudian dikenal dengan Aa-Sunah.
3.    Kaidah Bahasa
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Tidak ada jalan lain bagi umat islam untuk memahaminya kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa arab.  (penjelasanya masih kurang)
4.    Kaidah Ushul Fiqih
Dalam penafsiran adakalanya menggunakan kaidah Ushul Fiqih untuk menemukan penafsiran yang tepat, adapun beberapa kaidah Ushul Fiqih adalah sebagai berikut:


a.    Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy :
Al-amr adalah adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada pihak  yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr.
Apabila Allah SWT  memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia melarang sesuatu berarti memerintahkanmelakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-NYA atau kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikitpun berarti menetapkan kesempurnaan. Contoh : Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang berbuat zholim.
b.    Kaidah Ushul Fiqih lainya dalah al-am dan khas, mujmal dan mubayyan, manthuq dan mafhum, muthlaq dan muqoyad, hakikat dan mazas, dan lain-lain.
5.    Kaidah Ilmu Pengetahuan
Disamping kaidah-kaidah diatas, seorang mufassir mesti memiliki ilmu pengetahuan lainya, seperti ilmu sosial, kedokteran dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan pada perinsip al-Qur’an untuk diturunkan sebagai Rahmatal lil Alamin. Dengan demikian maka al-qur’an akansenantiasa sesuai dengan zaman dan tempat.
Contoh : “Kolakol insana min ‘Alaq “ , ayat tersebut mengungkapkan penciptaan manusia. Para ulama berpendapat bahwa mengenai kejadian manusia dari kata ‘Alaq yaitu berarti darah beku atau segumpal darah yang merupakan kejadian janin pada hari pertama kejadiannya.
Hal tersebut dapat ditafsirkan dengan mempertimbangkan kaidah ilmu kedokteran.
REFERENSI :
Salim Mu’in, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2010


Demikian ulasan singkat tentang Kaidah-Kaidah Tafsir, adapun penjelasan mendalamnya dibahas dalam artikel lainya. Semoga bermanfaat dan juga penuh berkah, amiiin.
Boleh LIKE atau SHARE, karna menanam satu kebaikan akan menuai 700 kebaikan bahkan lebih lho, mudah kan.

Selamat belajar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar